Jumat, 10 Desember 2010

ULAMA DAN FATWA (Menelusuri Kelahiran Sebuah Fatwa)


Oleh:      Bukhori[1]
Di kalangan Islam,khususnya yang sering bergumul dengan masalah hukun Islam,tentu istilah fatwa sudah tidak asing lagi dan begitu familiar. Fatwa - yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penetapan status hukum (vonis) terhadap suatu persoalan- sering kali kita temukan, bahkan tidak jarang kita membaca fatwa-fatwa yang terbilang menghebohkan.
Sebut saja misalnya, fatwa sebagian besar ulama Saudi yang mengharamkan perempuan untuk menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai “bra” karena hal itu bisa menipu laki-laki, seolah-olah dia memiliki payudara yang besar, padahal belum tentu demikian, dan karena itu bisa dianggap sebagai menipu. Bahkan menurut laporan media, pada tahun 2009 di Somalia pernah diadakan semacam razia oleh kelompok Islam garis keras terhadap wanita yang memakai “bra” /BH. Bagi mereka yang kedapatan memakainya akan dikenakan hukuman cambuk dan dipaksa untuk membuka bra yang mereka pakai pada saat itu juga.   
Begitu juga perempuan diharaman memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih
tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Kalau hal ini diterus-teruskan, tidak mustahil perempuan juga akan dilarang berhias, dan berbedak dan sebagainya, karena hal ini juga dapat dianggap sebagai penipuan terhadap laki-laki, wanita tampak lebih cantik dari aslinya.
Fatwa-fatwa tersebut dianggap oleh banyak kalangan sebagai tindakan sewenang-wenang dan penindasan terhadap wanita yang tidak dapat ditolelir. Begitu juga pendapat atau fatwa keagamaan bahwa wanita harus berdo`a atau sholat ditempat yang paling tersembunyi, wanita harus menyerahkan segenap jiwa raganya kepada suami kapanpun suaminya menghendaki. Fatwa-fatwa yang berlindung di baawh teks (nash) mengklain bahwa itulah sebenarnya yang dikehendaki oleh Tuhan
Di Indonesia sendiri, fatwa heboh juga penah kita jumpai dari waktu ke waktu. Misalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI), mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen, dan fatwa keharaman menggunakan situs jejaring sosial facebook  yang dikeluarkan oleh sekelompok muslim di Indonesia.
Lantas, bagaimana kita melihat dan bersikap dalam menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti ini?  
Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam, apa yang disebut sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus ditaati oleh seluruh umat. Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.     
Selanjutnya, dengan menyoroti secara lebih tajam bagimana mekanisme perumusan dan pengambilan fatwa-fatwa dilakukan, baik oleh pribadi-pribadi, maupun oleh lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersifat partikulir maupun yang kolektif.
        Bagaimana sebenarnya sebuah fatwa dilahirkan? Prosesnya sangat sederhana, meskipun dalam praktek tentu tidak sesederhana gambarkan ini. Setidaknya, fatwa lahir melalui proses berikut ini. Jika seorang ulama ditanya, apa kata hukum Islam mengenai kasus A atau B, dia akan mencari teks atau ketentuan dalam Quran atau hadis yang berkenaan dengan kasus itu. Jika terdapat jawaban dalam kedua sumber itu, maka biasanya dia akan memakai ketetapan yang ada.
Jika ada kasus yang baru sama sekali sehingga tak ada keterangan apapun mengenainya baik dalam Quran atau hadis, maka proses yang biasa dilakukan oleh seorang mufti atau ulama pembuat fatwa adalah ber-ijtihad atau menalar.Namun, Banyak sekali  kasus yang muncul saat ini tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan sunnah, sehingga ulama harus melakukan ijtihad sendiri untuk menentukan hukumnya.
Contoh konkritnya seperti situs jejaring social facebook yang diharamkan oleh sekelompok santri dan sebagian ulama di Jawa Timur. Jelas dalam Al-Quran dan sunnah tak ada ketentuan yang eksplisit tentang haramnya facebook. Jika pada akhirnya para santri tersebut mengharamkannya untuk dipraktekkan oleh umat Islam, maka pendapat itu adalah hasil penalaran sendiri. Tentu bukan penalaran yang bergerak bebas; sudah tentu mereka itu mendasarkan penalarannya atas ketentuan-ketentuan umum dalam Quran dan sunnah.
Tetapi ulama yang lain, dengan memakai ketentuan-ketentuan umum serupa, bisa datang dengan pendapat lain yang berbeda. Bukan saja itu, ulama yang sama bisa memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam soal yang sama. Ini bisa kita baca dalam buku-buku fikih perbandingan mazhab di mana sering kita jumpai pendapat yang berbeda-beda dari Imam Syafii (pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara) atau Imam Malik (pendiri mazhab Maliki yang banyak diikuti di Afrika Utara) mengenai masalah yang sama.
Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun bahwa sebuah fatwa tetap mengacu dan selalu bertumpu pada teks (kitabah qauliyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada bahasa. Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa karena ia merupakan hasil kesepakatan dan budaya manusia. Ketika seseorang menggunakan bahasa sebagai media untuk berkomunikasi atau menuangkan buah pikirannya, secara otomatis dia harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya. 
         Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menentukan makna teks, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh pihak manapun. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader). Dan disisnilah sebenarnya letak ijtihad, yaitu dengan adanya interaksi dan peran aktif antara ketiga elemen tersebut.
        Untuk mencegah dan menghindarkan diri dari hal tersebut, maka menurut menurut Khaled Abuo Elfadl ada lima persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan untuk mengontrol dan mengendalikan diri (restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness), dan kejujuran (honest).
Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad
seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. ”Mind-set”, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.
Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh jadi
mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau malah anti-kekuasaan.
Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad melulu dituntun dan dikendalikan oleh
metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal; seolah-olah seorang ulama adalah subyek otonom yang berada di luar jejaring kepentingan sosial yang bekerja dalam masyarakat.
Dengan melihat proses fatwa seperti itu, maka setidaknya kita dapat menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah cendrung sebagai “legal opinion”, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.
Contoh yang masih aktual adalah persoalan keharaman merokok. Meskipun MUI dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa haram merokok, tetapi banyak umat Islam, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama yang bersebrangan dan tidak mengikuti fatwa itu. Mereka tidak mengikuti fatwa itu buka karena tak tahu atau tahu tetapi tak mau mengikuti. Akan tetapi mereka “membangkang” terhadap fatwa MUI itu sebab ada ulama lain yang berpendapat bahwa merokok -seperti yang telah lazim dilakukan oleh umat muslim di Indonesia- merupakan masalah yang multi tafsir dan tidak mengandung mafsadat yang dapat meusak tubuh secara langsung.
Dengan kata lain, umat bukanlah obyek pasif yang menerima fatwa apa adanya tanpa berpikir kritis. Tantangan umat Islam ke depan adalah bagaimana terus-menerus memberdayakan umat, bukan saja secara ekonomi (itu juga penting), tetapi juga dalam aspek berpikir sehingga daya kritis mereka terus meningkat dan dengan demikian dapat menilai fatwa-fatwa ulama secara lebih jeli dan hati-hati. Pendapat ulama jelas bukan pendapat suci yang tak bisa “diinterogasi” secara kritis.
Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi setiap orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Keadaanya tidak beda dengan produk hukum sekuler biasa: anda tak perlu menjadi sarjana hukum untuk menilai apakah suatu produk hukum tertentu masuk akal atau tidak. Begitu juga, anda tak perlu menjadi seorang ahli hukum Islam untuk menilai apakah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga ulama tertentu masuk akal atau tidak.
Fatwa bisa saja bahkan terkadang harus dikeluarkan dan dilahirkan oleh para ulama, tetapi memberangus perbedaan dengan alasan bahwa pendapat tertentu bertentangan dengan “fatwa” dari seorang atau lembaga ulama dan karena itu sesat, jelas tak masuk akal dan kontradiktif dengan hukum masyarakat.[2]



1 Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum (RU IV) Ganjaran Malang, dan saat ini sedang menjalani studi pascasarjana Konsntrasi Pendidikan Bahasa Arab  
[2] Tulisan ini diramu dan diadaptasi kembali dari beberapa sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar