Jumat, 10 Desember 2010

ULAMA DAN FATWA (Menelusuri Kelahiran Sebuah Fatwa)


Oleh:      Bukhori[1]
Di kalangan Islam,khususnya yang sering bergumul dengan masalah hukun Islam,tentu istilah fatwa sudah tidak asing lagi dan begitu familiar. Fatwa - yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penetapan status hukum (vonis) terhadap suatu persoalan- sering kali kita temukan, bahkan tidak jarang kita membaca fatwa-fatwa yang terbilang menghebohkan.
Sebut saja misalnya, fatwa sebagian besar ulama Saudi yang mengharamkan perempuan untuk menyetir mobil. Beberapa ulama Saudi juga melarang perempuan memakai “bra” karena hal itu bisa menipu laki-laki, seolah-olah dia memiliki payudara yang besar, padahal belum tentu demikian, dan karena itu bisa dianggap sebagai menipu. Bahkan menurut laporan media, pada tahun 2009 di Somalia pernah diadakan semacam razia oleh kelompok Islam garis keras terhadap wanita yang memakai “bra” /BH. Bagi mereka yang kedapatan memakainya akan dikenakan hukuman cambuk dan dipaksa untuk membuka bra yang mereka pakai pada saat itu juga.   
Begitu juga perempuan diharaman memakai sepatu dengan hak tinggi, lagi-lagi dengan alasan penipuan: dengan sepatu berhak tinggi, perempuan tampak lebih
tinggi dari aslinya, dan itu menipu. Kalau hal ini diterus-teruskan, tidak mustahil perempuan juga akan dilarang berhias, dan berbedak dan sebagainya, karena hal ini juga dapat dianggap sebagai penipuan terhadap laki-laki, wanita tampak lebih cantik dari aslinya.
Fatwa-fatwa tersebut dianggap oleh banyak kalangan sebagai tindakan sewenang-wenang dan penindasan terhadap wanita yang tidak dapat ditolelir. Begitu juga pendapat atau fatwa keagamaan bahwa wanita harus berdo`a atau sholat ditempat yang paling tersembunyi, wanita harus menyerahkan segenap jiwa raganya kepada suami kapanpun suaminya menghendaki. Fatwa-fatwa yang berlindung di baawh teks (nash) mengklain bahwa itulah sebenarnya yang dikehendaki oleh Tuhan
Di Indonesia sendiri, fatwa heboh juga penah kita jumpai dari waktu ke waktu. Misalnya Majlis Ulama Indonesia (MUI), mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristen, dan fatwa keharaman menggunakan situs jejaring sosial facebook  yang dikeluarkan oleh sekelompok muslim di Indonesia.
Lantas, bagaimana kita melihat dan bersikap dalam menghadapi fatwa-fatwa heboh seperti ini?  
Pertama-tama, yang harus dipahami oleh umat Islam, dan juga umat lain yang hendak memahami dinamika internal dalam umat Islam, apa yang disebut sebagai fatwa bukanlah semacam surat ensiklik dari Vatikan yang harus ditaati oleh seluruh umat. Berbeda dengan agama Katolik, Islam tidak mengenal lembaga klerikal yang terpusat yang menentukan kata putus dalam segala hal yang berurusan dengan soal agama. Dalam Islam tak dikenal lembaga terpusat yang bisa memaksakan satu pendapat kepada seluruh umat. Sebuah fatwa, meskipun dikeluarkan oleh ratusan atau (bahkan) ribuan ulama, tetap saja hanyalah sebuah pendapat saja. Umat boleh mengikuti, boleh pula mengabaikan. Sebuah fatwa bisa ditentang oleh fatwa lain.     
Selanjutnya, dengan menyoroti secara lebih tajam bagimana mekanisme perumusan dan pengambilan fatwa-fatwa dilakukan, baik oleh pribadi-pribadi, maupun oleh lembaga-lembaga keagamaan, baik yang bersifat partikulir maupun yang kolektif.
        Bagaimana sebenarnya sebuah fatwa dilahirkan? Prosesnya sangat sederhana, meskipun dalam praktek tentu tidak sesederhana gambarkan ini. Setidaknya, fatwa lahir melalui proses berikut ini. Jika seorang ulama ditanya, apa kata hukum Islam mengenai kasus A atau B, dia akan mencari teks atau ketentuan dalam Quran atau hadis yang berkenaan dengan kasus itu. Jika terdapat jawaban dalam kedua sumber itu, maka biasanya dia akan memakai ketetapan yang ada.
Jika ada kasus yang baru sama sekali sehingga tak ada keterangan apapun mengenainya baik dalam Quran atau hadis, maka proses yang biasa dilakukan oleh seorang mufti atau ulama pembuat fatwa adalah ber-ijtihad atau menalar.Namun, Banyak sekali  kasus yang muncul saat ini tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan sunnah, sehingga ulama harus melakukan ijtihad sendiri untuk menentukan hukumnya.
Contoh konkritnya seperti situs jejaring social facebook yang diharamkan oleh sekelompok santri dan sebagian ulama di Jawa Timur. Jelas dalam Al-Quran dan sunnah tak ada ketentuan yang eksplisit tentang haramnya facebook. Jika pada akhirnya para santri tersebut mengharamkannya untuk dipraktekkan oleh umat Islam, maka pendapat itu adalah hasil penalaran sendiri. Tentu bukan penalaran yang bergerak bebas; sudah tentu mereka itu mendasarkan penalarannya atas ketentuan-ketentuan umum dalam Quran dan sunnah.
Tetapi ulama yang lain, dengan memakai ketentuan-ketentuan umum serupa, bisa datang dengan pendapat lain yang berbeda. Bukan saja itu, ulama yang sama bisa memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam soal yang sama. Ini bisa kita baca dalam buku-buku fikih perbandingan mazhab di mana sering kita jumpai pendapat yang berbeda-beda dari Imam Syafii (pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Asia Tenggara) atau Imam Malik (pendiri mazhab Maliki yang banyak diikuti di Afrika Utara) mengenai masalah yang sama.
Satu hal yang tidak dapat dihindari oleh siapapun bahwa sebuah fatwa tetap mengacu dan selalu bertumpu pada teks (kitabah qauliyah), sedang teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada bahasa. Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa karena ia merupakan hasil kesepakatan dan budaya manusia. Ketika seseorang menggunakan bahasa sebagai media untuk berkomunikasi atau menuangkan buah pikirannya, secara otomatis dia harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya. 
         Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menentukan makna teks, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh pihak manapun. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader). Dan disisnilah sebenarnya letak ijtihad, yaitu dengan adanya interaksi dan peran aktif antara ketiga elemen tersebut.
        Untuk mencegah dan menghindarkan diri dari hal tersebut, maka menurut menurut Khaled Abuo Elfadl ada lima persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu kemampuan untuk mengontrol dan mengendalikan diri (restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness), dan kejujuran (honest).
Meskipun para ulama fikih mengatakan bahwa ijithad dalam Islam diikat oleh metode dan prosedur tertentu yang kurang lebih baku, tetapi jelas hasil ijtihad
seorang ulama sangat ditentukan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor di luar pertimbangan agama. ”Mind-set”, paradigma berpikir dan kecenderungan intelektual ulama bersangkutan juga menentukan hasil akhir dari suatu ijtihad. Bahkan latar belakang sosial-budaya dari ulama itu juga ikut mewarnai proses berijtihad yang ia lakukan.
Jangan pula dilupakan, kedudukan sosial ulama juga ikut mewarnai pendapat dan fatwa seseorang. Ulama yang berada dan dekat dengan kekuasaan boleh jadi
mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan ulama yang ada di luar atau malah anti-kekuasaan.
Kelemahan praktek ijtihad yang berlangsung di kalangan ulama Islam selama ini adalah bahwa seolah-olah proses ijithad melulu dituntun dan dikendalikan oleh
metode ijtihad yang ada, tanpa adanya pengaruh eksternal; seolah-olah seorang ulama adalah subyek otonom yang berada di luar jejaring kepentingan sosial yang bekerja dalam masyarakat.
Dengan melihat proses fatwa seperti itu, maka setidaknya kita dapat menempatkan fatwa secara proporsional. Apa yang disebut sebagai fatwa adalah cendrung sebagai “legal opinion”, pendapat hukum. Fatwa mengenai kasus tertentu tidak berarti langsung menjadi kata pamungkas dalam kasus tersebut, sebab ulama atau sarjana lain bisa memiliki pendapat yang berbeda.
Contoh yang masih aktual adalah persoalan keharaman merokok. Meskipun MUI dan Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa haram merokok, tetapi banyak umat Islam, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama yang bersebrangan dan tidak mengikuti fatwa itu. Mereka tidak mengikuti fatwa itu buka karena tak tahu atau tahu tetapi tak mau mengikuti. Akan tetapi mereka “membangkang” terhadap fatwa MUI itu sebab ada ulama lain yang berpendapat bahwa merokok -seperti yang telah lazim dilakukan oleh umat muslim di Indonesia- merupakan masalah yang multi tafsir dan tidak mengandung mafsadat yang dapat meusak tubuh secara langsung.
Dengan kata lain, umat bukanlah obyek pasif yang menerima fatwa apa adanya tanpa berpikir kritis. Tantangan umat Islam ke depan adalah bagaimana terus-menerus memberdayakan umat, bukan saja secara ekonomi (itu juga penting), tetapi juga dalam aspek berpikir sehingga daya kritis mereka terus meningkat dan dengan demikian dapat menilai fatwa-fatwa ulama secara lebih jeli dan hati-hati. Pendapat ulama jelas bukan pendapat suci yang tak bisa “diinterogasi” secara kritis.
Tidak semua orang kompeten untuk mengeluarkan sebuah fatwa. Tetapi setiap orang berhak menilai apakah sebuah fatwa masuk akal atau tidak, apalagi jika fatwa itu menyangkut kehidupan masyarakat banyak. Keadaanya tidak beda dengan produk hukum sekuler biasa: anda tak perlu menjadi sarjana hukum untuk menilai apakah suatu produk hukum tertentu masuk akal atau tidak. Begitu juga, anda tak perlu menjadi seorang ahli hukum Islam untuk menilai apakah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau lembaga ulama tertentu masuk akal atau tidak.
Fatwa bisa saja bahkan terkadang harus dikeluarkan dan dilahirkan oleh para ulama, tetapi memberangus perbedaan dengan alasan bahwa pendapat tertentu bertentangan dengan “fatwa” dari seorang atau lembaga ulama dan karena itu sesat, jelas tak masuk akal dan kontradiktif dengan hukum masyarakat.[2]



1 Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Miftahul Ulum (RU IV) Ganjaran Malang, dan saat ini sedang menjalani studi pascasarjana Konsntrasi Pendidikan Bahasa Arab  
[2] Tulisan ini diramu dan diadaptasi kembali dari beberapa sumber

KAJIAN AL-QUR'AN DI INDONESIA DARI MAHMUD YUNUS HINGGA QURAISH SHIHAB (Telaah Buku)



I. PENDAHULUAN
       Pusat studi Islam di Asia Tenggara dan khususnya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia telah memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Pada abad ke-16, bahkan mungkin sebelumnya, di wilayah tersebut telah ada ulama yang tulisan-tulisanya telah didistribusikan secara luas. Menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang di pulau Sumatra, di Jawa Timur, dan di Gowa di Sulawesi telah menghasilkan tulisan-tulisan yang penting dan telah menarik para siswa untuk belajar. Tony Johns dengan gamblang telah menjelaskan tingkat keilmuan sekolah-sekolah di Sumatra dan telah menyediakan informasi penting tentang umat Islam di Pulau Jawa. Analisisnya menunjukkan bahwa pemikiran Islam Bangsa Indonesia  pada waktu itu sangat hebat, memperhatikan masalah-masalah doktrin yang dinilai penting di mana-mana di dunia Islam, dan telah menghasilkan banyak tulisan tentang ilmu-ilmu Islam tradisional.
      Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam mencatat 'sejarah' tersendiri dalam hal sosialisasi  (nilai-nilai, pesan-pesan, kandungan) Al-Qur'an. Seiring dengan perkembangan (agama) Islam di Indonesia, telah pula berlangsung sosialisasi Al-Qur'an dengan berbagai macam cara: mulai dengan cara   menghafalkan keseluruhan ayat-ayatnya (tahfiz), ceramah-ceramah, kajian tafsir, penulisan buku-buku yang berkaitan dengan kandungan  Al-Qur'an, atau dengan memasyarakatkan baca-tulis Al-Qur'an lewat Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA)dan pesantren-pesantren atau pengajian-pengajian.
      Upaya sosialisasi (kandungan) Al-Qur'an yang dilakukan dengan penulisan buku-bukupun merupakan hal yang menarik dicatat. Kiranya, sampai sejauh ini telah terdapat ratusan atau bahkan ribuan buku ditulis sebagai upaya sosialiasi Al-Qur'an kepada umat Islam, baik itu yang berupa kitab-kitab tafsir, kajian ayat-ayat tertentu secara tematis, dalam buku-buku panduan khutbah atau yang ditulis dalam kerangka studi untuk para siswa, dan lain-lain.
      Selama tiga setengah abad berikutnya, yang pada umumnya dikenal sebagai masa penjajahan Belanda -dari tahun 1600 hingga 1942- keilmuan umat Islam terus berlangsung dan memberikan identitas pada Islam di wilayah tersebut. Katalog-katakog tentang manuskrip  yang dibuat oleh Van Ronkel, Snouck Hurgronje, dan lainya yang disusun pada awal abad ke-20 menunjukan bahwa telah banyak terdapat tulisan tentang Islam dalam bahasa Arab, Melayu dan bahasa local di Asia Tenggara.
      Sebagaimana di dunia Islam lainya pada periode ini, banyak tulisan-tulisan yang pandanganya berbau mistik, sementara sebagian lainya terfokus pada masalah tingkah laku dan perbuatan baik, dan sebagian lainya berupa pengungkapan kembali kisah-kisah, balada, dan cerita-cerita petualngan dengan menggunakan ciri-ciri, istilah-istilah, dan simbol-simbol Islam.

II.  PEMBAHASAN
          Karya ilmiah Howard M Federspiel ini berjudul asli Popular Indonesian Literatur
Of The Quran, ini merupakan resensi (kajian) atas buku-buku  dengan tema sosialisasi Al-Qur'an yang ditulis oleh para penulis, dan   dalam Bahasa Indonesia. Ada sekitar 60-an buku diteliti oleh pengamat   keIslaman Indonesia ini. Diantara nama-nama penulis yang karya-karyanya diteliti adalah Jamaluddin Kafie, Oemar Bakrie, Abu Bakar Atjeh, Joesoef Souyb, HAMKA, Ahmad Hassan, Hashbi Ash-Shiddiqie, Mahmud Yunus, dan Dr Quraish Shihab.
      Dari segi jenis buku-buku yang diteliti, kajian Federspiel ini boleh dibilang lumayan komprehensif, karena buku-buku tersebut meliputi berbagai jenis yang berkaitan dengan upaya sosialisasi Al-Qur'an di Indonesia, baik buku bimbingan untuk pelajar dan awam, kamus (indeks) Al-Qur'an, Tafsir Al-Qur'an,sampai kepada buku-buku tentang cara-cara menghafal Al-Qur'an. Sebagai sebuah 'dokumen' jelas kajian salah seorang professor dari Universitas McGill Canada ini, sangat berarti. 
         Lebih lanjut, Federspiel sendiri membagi sejarah penafsiran Al-Quran di Indonesia menjadi tiga periode. Periode pertama bermula dari awal abad 20 hingga tahun 1960-an. Periode ini ditandai dengan penafsiran Al-Quran yang masih terpisah-pisah. Pada periode inilah, sebenarnya karya-karya berbahasa daerah banyak ditulis.                              Periode kedua, merupakan penyempurnaan atas periode pertama dengan   penyempurnaan yang meliputi penambahan catatan kaki, terjemahan kata per kata dan   kadang-kadang disertai indeks. Generasi ini melahirkan karya-karya tafsir seperti Al-Furqan yang ditulis Ahmad Hassan, Tafsir Al-Quran yang ditulis Qamaruddin Hamidy dan Tafsir Al-Quran al-Karim yang ditulis oleh Mahmud Yunus.           
         Periode ketiga merupakan penafsiran yang lengkap dengan memberikan komentar-komentar yang luas terhadap teks bersamaan dengan terjemahannya, memiliki bagian pengantar dan indeks yang sangat memperluas isi, tema dan menyajikan riwayat sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat Al-Quran (asbab an-nuzul). Dalam masa periode ketiga ini muncul karya-karya seperti Tafsir al-Quran al-Karim karya Halim Hasan, Tafsir Al-Zahar karya HAMKA, Tafsir Al-Bayan karya Hasbi As-Shiddiqie, Tafsir Departemen Agama, dan lain-lain. 
         Munculnya metode maudhu'i (tematis) dalam penafsiran Al-Quran belakangan ini, membuat kajian nilai-nilai Al-Quran lebih menarik. Menurut Federspiel, apa yang dilakukan Dr Quraish Shihab yang menulis tafsir Al-Quran dalam buku Wawasan Al-Quran dengan metode ini, memunculkan tradisi baru dalam upaya sosialisasi Al-Quran di Indonesia. Dalam bukunya tersebut, Quraish mencoba mengedepankan persoalan-persoalan kontemporer dan mencari solusinya dari Al-Quran dengan cara menafsirkan ayat-ayat dari berbagai surah yang berkaitan dengan persoalan-persoalan itu. Dengan penafsiran tematis ini membuat umat Islam menjadi lebih mudah dalam memperoleh pemahaman atas kandungan Al-Quran.
         Dalam menyusun buku ini,  Federspiel saat itu sedang melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya untuk menangani suatu program kerja sama antara Konsorsium Kegiatan-kegiatan Internasional  di Universitas Sumatra Utara, Medan, Indonesia dengan suatu Proyek Bank Pembangunan Asia.
      Pada awalnya penelitian ini dimaksudkan untuk dijadikan sumber bagi orang Barat yang tertarik dengan Islam di Asia Tenggara. Akan tetapi ketika Federspiel menyajikan hasil penelitian ini di depan beberapa audien umat Islam Indonesia ditemukan adanya reaksi yang menentang pemusatan perhatian seperti tersebut di atas. Berdasarkan pengalaman tersebut, Federspiel merubah pemikiranya dan mulai melihat audien dalam pandangan yang lebih luas.
      Sebagai tambahan kajian tentang karya ini, kami sajikan profil singkat penulis buku ini. Dr. Howard M. Federspiel adalah profesor di Institut Studi-studi Islam, Universitas McGill di Montreal, Kanada. Dan juga profesor ilmu politik di Universitas Negara Bagian Ohio di Newark, Ohio, AS. Di Montreal ia juga menjabat Direktur Proyek Pendidikan Tinggi Islam McGill Indonesiaa, yang disponsori oleh CIDA (Canadian International Development Agency), yang bekerja sama dengan sistem IAIN di Indonesia untuk mendidik staf-staf pengajar bidang studi Islam (Dirosat Islamiyyah), dan memberikan wawasan-wawasan baru dalam sistem manajemen, pengajaran, dan informasi perpustakaan kepada lembaga-lembaga pendidikan tinggi Indonesia.
      Federspiel lahir pada tahun 1932 di Negara Bagian New York, AS, dan mengikuti kuliah di Universitas Capital, sebuah institusi Lutheran di Colombus, Ohio. Ia menulis tesisnya tentang Hajj M. Amin Al-Husayni dan mandat Palestina pada dasawarsa 1920-an dan 1930-an. Dan disertasi P.Hd-nya berkenaan dengan Persatuan Islam (Persis) Bandung dan Bangil. Ia bekerja sebagai diplomat muda pada Sekertariat Negara AS yang mana ia menangani masalah-masalah Indonesia. Setelah itu ia menjadi staf pengajar di beberapa Universitas di Negara Bagian Ohio, AS.
      Sejak 1984 hingga 1986 ia menjadi ketua tim proyek pengembangan pendidikan tinggi pada Universitas Sumatra Utara di Medan, dan sejak 1987 hingga 1988 menjabat Wakil Direktur Proyek Pendidikan Tinggi Bank Dunia XVII di Jakarta dan bekerja sama dengan Centers of Excellence di UI, ITB, IPB, UGM dan UT. Pada tahun 1989 dan 1990 ia mengunjungi Indonesia sebagai konsultan Asian Development Bank.
      Telah banyak karya yang ia tulis selama beberapa kali melakukan kunjungan di Indonesia. Diantaranya; Popular Indonesian Literature of the Qur'an (yang edisi Indonesianya berjudul Kajian Al-Qur'an di Indonesia), Indonesian Muslim Intellectuals and National Development in Indonesiaa, The Usage of Traditions of the Prophet in Contemporary Indonesia, dan Dictionary of Indonesian Islam.
      Adapun sistematika karya ilmiah ini berpola sebagi berikut:

  1. Latar Belakang  Masalah
            Tradisi keilmuan tentang perkambangan Islam pada abad ke-20 menunjukkan bahwa para penulis Muslim Indonesia dewasa ini telah menghasilkan lebih banyak buku yang menjadi suatu kontribusi penting bagi perkembangan pemikiran Islam, baik secara lokal di Asia Tenggara maupun di luar wilayah Asia Tenggara itu sendiri. Karya-karya Hamka, Hassan, As-Shiddiqy diantaranya membahas tentang ajaran-ajaran Islam bagi para pembaca yang telah dipengaruhi oleh Nasionalisme dan pemikiran ilmiah. Karya-karya tersebut pada umumnya menghindari mistisisme dan menekankan teologi tradisional dan doktrin-doktrin para ahli hukum serta praktik-praktik Islam kelompok Sunni. Para pengarang tersebut merrefleksikan karya-karya Rasyid Ridho, Maududi, dan yang lainya dari kelompok modernis dengan gerakan neofundamentalis di dunia Islam.
            Luasnya keanekaragaman dan ciri keilmuan umat Islam Indonesia kontemporer tampaknya cukup menonjol. Pada suatu waktu ketika suatu ideologi nasional telah memperkokoh kontrolnya, Islam tetap populer, berkembang, dan ekspresif. Buku-buku, pamflet-pamflet, dan majalah dengan tema keislaman melimpah. Dalam istilah sejarah, suatu trend yang mantap terus berlangsung, dan keilmuan di kalangan umat Islam kelihatan menjadi sesuatu yang penting di wilayah tersebut dewasa ini seperti halnya di masa lampau.
            Berangkat dari fenomena yang telah dipaparkan di atas, Federspiel tertarik untuk menganalisa satu aspek tradisi keilmuan Muslim Indonesia, yaitu studi tentang Al-Qur'an sebagai pokok sumber ajaran Islam.

  1. Studi Kepustakaan (Prior Research)
                  Sebagai karya ilmiah, penelitian tentang satu topik masalah sering kali terkait dan berhubungan dengan hasil penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sebagai sumber inspirasi, penumbuh minat melakukan  penelitian, sebagai pengembangan dari penelitian terdahulu yang kajianya lebih dalam, atau berwujud sebagai pembanding yang mengcounter hasil penelitian.
                  Kajian Al-Qur'an yang dilakukan Federspiel ini, bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan oleh seorang ilmuwan. Sebelumnya telah terdapat beberapa peneliti yang melakukan kajian yang sama yang sebagian hasil karyanya dijadikan bahan referensi dalam buku ini.
                    Kajian tentang tradisi Al Quran dan tafsir di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa Indonesianis seperti, R. Israeli dan A.H. Johns (Islam in the Malay world: an Explotary survey with the some refences to Quranic exegiesis, 1984), A.H. Johns (Quranic Exegiesis in the Malay world: In search of profile, 1998). P. Riddel (Earlist Quranic Exegetical activity in the malay speaking states, 1998).

  1. Fokus, Tujuan, dan Manfaat Penelitian
      3.1.  Fokus
               Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa secara umum yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah kajian Al-Qur'an di Indonesia. Yang secara rinci terumuskan menjadi bagian- bagian berikut ini:
a.       Peranan literatur-literatur keagamaan dan pengaruhnya dalam menentukan arah umat Islam dan bangsa Indonesia lainya.
b.      Peranan al-Qur'an sebagai sumber ajaran bagi umat Islam.
c.       Karya-karya yang ada di Indonesia tentang al-Qur'an dan tujuanya.

            3.2.  Tujuan
               Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang kajian Al-Qur'an di Indonesia. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a.         Menjelaskan peran literatur-literatur keagamaan, yang kelahiranya merupakan respons terhadap peristiwa nasional, dan pengaruhnya dalam menentukan arah umat Islam dan bangsa Indonesia lainya.
b.      Mengurai peranan al-Qur'an sebagai sumber ajaran bagi umat Islam untuk memahami arti pentingnya ajaran-ajaran tersebut bagi umat Islam
c.       Memetakan karya-karya berbahasa Indonesia tentang al-Qur'an dan memahami tujuan-tujuanya.

            3.3.  Manfaat Penelitian
               Secara teoritis hasil-hasil penelitian ini bermanfaat sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya maupun sebagai usaha menarik minat peneliti lain, khususnya di kalangan mahasiswa untuk mengembangkan penelitian lanjutan mengenai topik yang sama dan serupa.
               Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui gambaran jelas tentang studi-studi tentang al-Qur'an dalam konteks keindonesiaan, perkembangan karya-karya tentang Al-Qur'an yang ditulis oleh ilmuan-ilmuan Indonesia, pengaruhnya terhadap pemahaman ajaran Islam di Indonesia, motif dan tujuanya, dan pemetaan priodesasi munculnya literatur-literatur keagamaan.

  1. Kerangka Teoritik
                  Hasil penelitian ini secara sistematik  disajikan dalam tiga kelompok yang terdiri dari beberapa bab yang mencakup berbagai pembahasan, ringkasan atau kesimpulan, indeks, dan bibliografi. Kelompok pertama terdiri dari bab I dan bab II  yang menguraikan latar belakang sejarah, sedangkan kelompok kedua menghimpun bab III sampai bab VI, yang menganalisa literatur tentang al-Qur'an. Sementara kelompok terakhir  hanya terdiri dari babVII yang berisi ringkasan dan kesimpulan.
            Sebelum bab pertama, diulas latar belakang sejarah bahan-bahan. Latar belakang ini disajikan untuk mengemukakan konteks bagi bab-bab penelitian. Oleh karena itu bab pertama membahas tentang perkembangan Nasionalisme Inonesia dan negara kebangsaan Indonesia pada abad ke-20. dalam pembahasan tersebut, peranan literatur-literatur keagamaan dibicarakan, termasuk karya-karya yang telah berpengaruh dalam menentukan arah umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya, begitu pula karya-karya yang yang kelahiranya merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa nasional.
            Bab kedua menyajikan suatu uraian sejarah tentang perkembangan pendidikan Islam. Secara khusus pembahasan ini mengkhususkan diri pada peranan al-Qur'an sebagai sumber ajaran bagi bagi umat Islam yang sedang berubah dan menyajikan latar belakang untuk memahami arti pentingnya ajaran-ajaran tersebut bagi uamt Islam Indonesia.
              Bab-bab penelitian disaikan dalam bab ketiga sampai bab ketuju yang memuat analisa karya-karya yang ada di Indonesia tentang al-Qur'an. Bab-bab tersebut merupakan inti dari karya ilmiah ini. Keempat bab tersebut menganalisa buku-buku berbahasa Indonesia yang mempelajari, menjelaskan, atau memusatkan perhatian pada al-Qur'an  untuk kepentingan umat Islam. Pada dasarnya bab-bab tersebut berupaya menjelaskan tujuan dari buku-buku itu sendiri dalam rangka mengungakapkan konteks isinya.
            Sementara bab ketuju berisi kesimpulan yang menyajikan secara ringkas informasi-informasi tentang karya-karya yang telah dianalisa pada bab-bab sebelumnya, dan merumuskan kesimpulan-kesimpulan tentang karya-karya tersebut.  Bab ini menyajikan secara singkat  tentang para pengarang dan para pembacanya dengan mengemukakan faktor-faktor kualitatif, dan dengan menyajikan informasi tentang sumber-sumber yang digunakan dalam penyusunan buku-buku tersebut.
            Di bagian akhir disajikan bibliografi dan indeks. Terdapat tiga kelompok bibliografi yang disebutkan. Pertama, berisi daftar karya-karya yang dianalisa dalam bab  ketiga sampai bab keenam. Bagian kedua; bagian kedua berisi daftar buku-buku lainya yang dikutip dalam catatan kaki; dan bagian ketiga berisi buku-buku tertentu yang berhubungan dengan latar belakang studi ini. Sedangkan indeks menyajikan informasi tentang pengarang, judul-judul buku, istilah-istilah, dan konsep yang muncul dalam teks.

  1. Metodologi Penelitian
            Berdasarkan pengamatan terhadap ciri-ciri penelitian ini yang mencakup obyek, format, tujuan penelitian, kegiatan, data dan kualitasnya, strategi pengumpulan data, dan teknik analisa data maka, kami menyimpulkan (yang sudah barang tentu dengan segala keterbatasan kami) bahwa penelitian dalam karya ini adalaah katagori jenis penelitian kualitatif.
            Dari sisi  tujuan,  penelitian ini  mencoba memahami fenomena sosial melalui gambaran holistik dan menyeluruh serta memperbanyak pemahaman mendalam makna. Meskipun dalam buku ini ditampilkan angka sebagai prosentasi bahan-bahan kajian yang berupa literatur-literatur keagamaan, tapi bukan berarti penelitian ini adalah jenis kuantitatif, karena penelitian ini tidak menjelaskan tentang penyebab fenomena sosial melalui pengukuran obyektif dan analisa numerik sebagaimana pendekatan yang ada pada penelitian kuantitatif.[1]
            Strategi pengumpulan data dalam penelitian yang  melalui pengumpulan dokumen, pengamatan berperanserta (participant obervation), wawancara tidak tersetruktur dan informal, mencatat data dalam catatan lapangan secara intensif, serta menilai hasil karya-karya yang berdasarkan kualitas peneliti itu sendiri, juga sebagai pembeda dengan jenis kuantitatif yang teknik pengumpulan datanya cenderung numerik, statistifikal, dihitung dan diadakan pengukuran.
            Berdasarkan metode analisa data yang digunakan, penelitian ini juga bersifat deskriptif, data yang diperoleh melalui pengamatan dianalisa secara deskriptif  untuk memperoleh tema dan pola-pola yang didiskripsikan dan diilustrasikan dengan contoh-contoh, termasuk kutipan-kutipan dari dokumen.
            Kajian ini cenderung untuk mencari, menemukan, dan menyimpulkan hipotesis serta meninjau atau menguji kembali kebenaranya. Hipotesis dalam kajian ini dilihat sebagai sesuatu yang tentatif, berkembang dan didasarkan pada sesuatu studi tertentu. Hal ini sangat bertolak belakang dengan penelitian kuantitatif yang hipotesisnya bersifat deskriptif, korelasinal, perbandingan-kausal, dan eksperimen.

III. KESIMPULAN
      Studi tentang literatur Islam ini melahirkan beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
      Tradisi Islam Sunni penting bagi para penulis Muslim Indonesia. Mereka secara konsisten bersandar pada sumber-sumber tradisi tersebut, yakni al-Qur'an, Sunnah Nabi, dan karya-karya para ulama sepanjang sejarah Islam.
      Model-model karya-karya tentang tafsir al-Qur'an di Indonesia pada dasarnya berasal dari karya-karya para penulis mesir seratus tahun yang lalu.
      Pengaruh kebijaksanaan pemerintah Indonesia tekah menjadi pertimbangan penting dalam perkembangan kegiatan-kegiatan dan pemikiran umat  Islam sejak tahun 1945. karya-karya tersebut telah ditulis dalam konteks kesulitan nasional atau kebijakan nasional.
      Pengaruh barat dikambinghitamkan, sebagian penyebabnya dalah pendapat kaum orientalis masa lalu tentang doktrin Islam. Sebab lainya juga karena pengetahuan dan moralitasnya menurut kebanyakan umat Islam menjadi lawan terhadap apa yang dijelaskan  oleh ajaran Islam tentang masalah-masalah tersebut.
      Gerakan dakwah yang berlangsung di dunia Islam dan umat Islam Indonesia dipengaruhi oleh situasi tersebut. Gerakan tersebut mempengaruhi masyarakat Muslim Indonesia terutama dalam bidang-bidang peribadatan dan kewajiban agama yang dasar, tetapi belum seperti yang terjadi di negara-negar lainya, yang banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah atau moralitas masyarakat.


[1] Lihat Masyhuri dan M.Zainuddin, Metodologi Penelitian, Bandung, Refika Aditama, 2008: 14.