Selasa, 03 April 2012

KITAB KUNING VS KITAB PUTIH (Mengurai Tradisi dan Epistemologi Keilmuan Pesantren)


Oleh :  Bukhori
                                       
 إنّ من المبالغة وتجاهل الواقغ  الإدعاء بأن الكتب القديمة فيها الإجابة عن كل سؤال جديد

“ Klaim bahwa kitab-kitab karya terdahulu (kitab kuning) mampu menjawab segala persoalan kontemporer adalah sikap yang ekstrim  dan mengabaikan realitas “[1]
        Membaca statmen di atas, bagi sebagian kalangan pesantren yang telah lama akrab dan begitu familiar dengan al-kutub al-qadimah atau lazim disapa dengan sebutan kitab kuning  (al-kutub as-safra`), mungkin sedikit merasa janggal dan mengusik ketenangan pikirannya. Mereka akan berfikir sejenak untuk dapat mencerna, atau bahkan beranggapan bahwa ungkapan itu berlebihan, sehingga selanjutnya akan disibukkan dengan pencarian argumen-argumen yang dapat membantah hipotesa tersebut.
        Kalimat di atas memang nampak sederhana, akan tetapi sarat dengan muatan folosofis dan kritikan yang tajam. Setidaknya, pemikiran di atas menyuguhkan sebuah kritik epistemologi keilmuan yang sekaligus berimplikasi pada sisi ontologisnya, yaitu berupa “pemakzulan” terhadap keilmuan yang dihasilkannya.
        Sederhananya -menurut pandangan Qardawi di atas- jika kitab kuning dijadikan sebagai sumber pengambilan hukum ansich, dan sumber pemecahan setiap isu-isu kekinian, seperti yang terjadi pada beberapa kasus yang diselesaikan melalui forum bahts al-masa`il, maka produk yang dihasilakannya merupakan produk “balik meja” atau hasil yang tidak relevan dengan realitas yang ada.
        Hal tersebut dapat dipahami karena timbulnya sebuah pemikiran yang dituangkan dalam teks-teks tertentu mesti memiliki keterkaitan dengan konteks sosial budaya dimana pemikiran dan tulisan itu muncul, dan ia akan mengalami banyak keterbatasan ketika akan diimplementasikan dalam konteks sosial budaya yang berbeda.  Kitab sebagai teks adalah produk kebudayaan dan makna sebuah teks ditentukan oleh yang menafsirkan teks atau kitab tersebut. Begitu pun dengan kitab kuning, pemaknaannya tergantung kepada si penafsir, karena teks bukanlah realitas. Makna sebuah teks lebih dipengaruhi hal-hal di luar teks tersebut.
        Berangkat dari uraian di atas, pertanyaan yang seringkali muncul adalah perlukah kontekstualisasi pemahaman kitab-kitab kuning tersebut dengan problematika kekinian, ataukah mungkin kitab kuning kalah relevan dengan kitab-kitab putih (buku-buku) yang banyak bermunculan sekarang ?  
        Untuk mengurai dan memberikan sedikit pandangan mengenai persoalan-persoalan tersebut, tulisan sederhana ini akan mengulas tentang tradisi dan epistemologi keilmuan pesantren dan diakhiri dengan kemungkinan-kemungkinan kontekstualisasi kitab kuning.  
Kitab Kuning, Khazanah Tradisi Keilmuan Klasik
       Pada mulanya kitab kuning, menurut Affandi Mochtar[2] merupakan istilah yang dimunculkan oleh kalangan luar pesantren, yang ditengarai sebagai kitab yang memiliki kadar keilmuan yang rendah, out of date, dan penyebab stagnasi keilmuan. Namun kemudian, istilah ini menjadi sangat familiar bagi kalangan pesantren, dan konotasi negatif yang dilekatkan dengan awal kemunculan istilah tersebut perlahan memudar.
        Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.
        Dalam hal ini, kitab kuning menjadi bagian khazanah keilmuan Islam yang sangat berhaga. Selama hampir 15 abad, khazanah keilmuan ini tidak pernah putus dan terpelihara secara kokoh. Berkenaan dengan hal tersebut, pesantren mengambil bagiannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah melestarikan budaya dan tradisi keilmuan klasik ini dengan senantiasa mewariskan kepada santri-santrinya.  
        Dari sudut pandang ini, peran pesantren patut dihargai. Pesantren dengan berbagai variannya merupakan pusat persemaian dan pusat dipraktekkannya ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus sebagai pusat pembakuan dan penyebarannya. Persoalan apakah ”pesantren” merupakan karya budaya asli Indonesia ataukah bentuk lembaga yang diimpor dari Mesir, seperti yang ditengarai Martin Van Bruinessen[3] tidak menjadi soal. Yang jelas, kontribusi pesantren dalam membentuk dan memelihara khazanah keilmuan Islam klasik sangatlah besar.

Dua Trend Pemikiran Islam,  Pendekatan Epistemologi
        Dalam melihat tradisi keilmuan klasik seperti yang dikembangkan di lingkungan pesantren, terdapat dua trend (aliran) pemikiran Islam dari sisi epistemologi[4] yang berkembang. Pertama, adalah trend yang bersikukuh untuk mempertahankan tradisi keilmuan Islam tersebut dan memanfaatkannya untuk memfilter dan membendung dampak negatif dari gerak laju modernisasi. Dalam hal ini, tradisi keilmuan semisal di pesantren, dianggap sebagai budaya keilmuan yang tanpa harus dipertanyakan asal-usulnya, dan timbul kesan bahwa piramida pemikiran Islam yang meliputi ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf adalah suatu bentuk bangunan yang paten yang ghairu qabilin li at-taghyir wa al-niqas. Kitab kuning dianggap sebagai `produk jadi` dan `produk siap pakai` sehingga generasi berikutnya hanya tinggal mewarisi saja tanpa menggunakan daya nalar kritisnya[5].  
        Fenomena semacam ini dapat dilihat, misalnya, pada beberapa forum kajian ala pesantren semisal bahts al-masa`il yang mencoba untuk memecahkan setiap persoalan, baik sosial, budaya,ekonomi, hukum maupun politik, dari yang klasik sampai kontemporer, dengan senantiasa merujuk pada kitab kuning. Proses istinbath al-hukum dilakukan dengan mengambil pendapat-pendapat ulama terdahulu dan terkadang melalui teknik ilhaq al-masa`il bi nadza`iriha.
        Dalam hal ini, penulis merasa janggal, apakah benar bahwa seluruh persoalan hidup ini sudah termaktub dan telah dijawab semuanya oleh kitab kuning ? Tak hanya persoalan masa lalu, isu-isu terkini pun pembahasannya sudah ada, atau minimal diasumsikan ada. Sebut saja misalnya, masalah fecebook, kosmetik, infotainment, dan sebagainya, seakan  semua terpapar jelas dalam kitab kuning. Pun persoalan formalisasi syariah, perdebatan pornoaksi-pornografi, pluralisme, valuta asing dan lain sebagainya juga tersurat dalam kitab kuning. Jika demikian halnya, maka kitab kuning tak ubahnya seperti lautan, semua jenis ikan dapat ditemukan di sana.
        Pada konteks ini, pola pemikiran di atas masuk pada ranah madzhab qauli, sedangkan pendekatan yang dilakukan cendrung bersifat normatif-teologis, sementara pendekatan historis-kritis kurang mendapatkan perhatian yang proporsional. Dengan begitu tradisi kritik epistemologi nyaris tidak tersentuh oleh model pemikiran yang pertama ini.
        Kedua, adalah tradisi pemikiran keagamaan yang bersifat kritis, yang melihat bahwa khazanah keilmuan dan pemikiran keagamaan, semacam kitab kuning, merupakan bagian dari ”prudok sejarah” yang sudah barang tentu qobilun li al-taghyir wa al-niqas[6].  Pemikiran Al-`Asy`ari dalam ilmu kalam, As-Syafi`i, Hanafi dan imam-imam madzhab yang lain tidak bersifat taken for granted dan mutlak harus diikuti begitu saja tanpa pertanyaan yang kritis. Karena setiap pemikiran pasti dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di mana dan kapan pemikiran itu muncul.
        Rumusan piramida tradisi keislaman yang tercermin dalam ilmu kalam, tasawuf, dan fiqih merupakan hasil rumusan manusia yang tidak luput dari campur tangan ideologi bahkan kondisi politik yang berkembang pada waktu itu, meski disana-sini telah dibalut dengan petikan wahyu atau hadits nabi.
        Pola pemikiran yang kedua ini cendrung mengakomodasikan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang apapun (alam; fisika, biologi,bio-teknologi, sosial; sosiologi, antropologi, sejarah, dan lain sebagainya) dan memanfaatkan seperlunya untuk menjelaskan kembali konsep-konsep keagamaan yang telah dirumuskan berabad-abad yang lalu.
        Tradisi keagamaan apa pun dapat, dapat saja ditelaah secara kritis. Jika tradisi tidak boleh dilihat secara kritis-historis, maka menurut alur pemikiran yang kedua ini, secara pelan tapi pasti akan terjadi proses intelectual suicide[7] (kejenuhan atau bunuh diri intelektual) atau proses taqdis al-afkar al-diniyah.   

Kontekstualisasi Pemahaman Kitab-Kitab Kuning
        Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab Modern (al-kulub al-`ashriyah). Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain, oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, klasik,dan tanpa syakl (harakat). Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah)[8].
        Kitab kuning difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai ‘referensi’ nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Karena itu, kitab kuning harus tetap terjaga. Kitab kuning dipahami sebagai mata rantai keilmuan Islam yang dapat bersambung hingga pemahaman keilmuan Islam masa tabiin dan sahabat hingga sampai pada nabi Muhammad. Makanya, memutuskan mata rantai kitab kuning, sama artinya membuang sebagian sejarah intelektual umat.
        Kendatipun demikian, untuk membangun sebuah tradisi keagamaan yang selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan dan perubahan zaman maka diperlukan retinking atau pemahaman kitab-kitab kuning secara kontekstual.
        Dalam keputusan Munadharah ”Pengembangan al-’Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab secara Kontekstual (Siyâqi)” di PP. Watucongol, Muntilan, Magelang, 15-17 Desember 1988, dijelaskan bahwa takrif pemahaman kitab kuning secara kontekstual adalah; [1] suatu proses pemahaman kitab kuning yang mengacu kepada kenyataan baik syahshiyah (individual) maupun ijtima’iyah (sosial) yang melatarbelakangi kehadirannya; [2] upaya memahami kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harafiah, tetapi mampu menyentuh natîjah-natîjah (kesimpulan-kesimpulan) pemikiran yang menjadi jiwanya. Walhasil, teks kitab kuning selalu dipahami dalam konteks sintaksis (siyâqul kalâm) dan konteks kesejarahan (siyâqut târîkh) secara sekaligus.
        Tegasnya, jika pemikiran ilmu kalam klasik dapat berdialog dan bergaul akrab dengan pemikiran serta epistemologi Yunani (Hallenisme), maka pemikiran keislaman sekarang pun, termasuk kitab kuning, harus mampu berdialog dengan perkembangan ilmu-ilmu modern yang muncul saat ini.
        Last but not least, kontekstualisasi pemahaman kitab-kitab kuning dalam upayanya memecah stagnasi keilmuan Islam dan melahirkan tradisi keilmuan yang kritis dapat terjadi jika literatur kitab kuning (al-kutub as-safra`) dapat bergaul, bersentuhan langsung dan berdialog dengan literatur kitab putih (al-kutub al-baido`), lantaran di dalam buku-buku putih itu terdapat hal-hal yang belum terurai secara akademik dalam al-kutub as-sofro`. Bentuk semacam inilah -menurut penulis- yang lebih mendekati pada jargon pesantren yang begitu familiar :                      . المحافظة على القديم الصالح و الأخذ بالجديد الأصلح

BAHAN BACAAN
Abd. Moqsith Ghazali, Tongkat Musa Demi NKRI: Tanggapan atas Tanggapan Ismail Yusanto, www. Jaringan Islam Liberal.com, 28 Desember 2009
Fazlurrahman, Membaca Pintu Ijtihad, terj. Mahyuddin, Penerbit Pustaka, Bandung, 1984
Http://Abdullah-Ubaid.Blogspot.Com/  Pesantren dan Kitab Kuning, diakses pada 28 Desember 2009
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.
Mashudi Abdurrahman (2006), Memelihara Tradisi, Memperbaharui Pendidikan Pesantren, Bina Pesantren, Media Informasi dan Artikulasi Dunia Pesantren, Edisi 01
M.Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif Interkonektif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006





[1] Kata-kata Dr.Yusuf Qardawi yang dimuat dalam buku ألإجتهاد  hl. 21, karya Umar Abdullah Kamil
[2] Dalam tulisan Mashudi Abdurrahman yang dimuat dalam jurnal Bina Pesantren (edisi 01 Oktober 2006),
[3] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, hl.73
[4]  Epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti pengetahuan, secara sederhana dapat dikatakan sebagai penyelidikan asal-usul, metode dan sahnya ilmu pengetahuan, lihat Jujun S, Filsafat Ilmu
[5]  M.Amin Abdullah, Islami Studies di Perguruan Tinggi, pendekatan Integritas Interkoneksitas, hl. 295
[6] M.Amin Abdullah, Ibid, hl. 298 
[7] Fazlurrahman, Membaca Pintu Ijtihad, terj. Mahyuddin, hl. 158
[8] Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Martin Van Bruinessen, ibid, hl. 234-235.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar