Minggu, 15 Januari 2012

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


SEJARAH  PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh:  BUKHORI, M.Pd(1)
 A.      Pendahuluan
Pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam yang berlandaskan kepada kitab al-Quran  dan al-Hadis hadir untuk memberikan petunjuk dan penjelasan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan permasalahan hidup dan perikehidupan umat manusia di dunia ini. Sedangkan As-Sunnah berfungsi untuk memberikan penjelasan secara operasional dan terperinci tentang berbagai permasalahan yang ada dalam Al-Qur'an tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan situasi dan kondisi kehidupan nyata. Sebagai aktifitas yang bergerak dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidkan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik kearah pencapaian pendidikan.
Oleh karena itu, dasar yang terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah. Menetapkan Al-Qur'an dan hadist sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman manusia.
Sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada hakekatnya sangat berkaitan erat dengan sejarah masuknya agama Islam di Negara ini. Periodesasi pendidikan Islam selalu berada dalam periode sejarah Islam itu sendiri. Secara garis besarnya Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode. Yaitu periode Klasik, Pertengahan dan Modern.  Kemudian perinciannya dapat dibagi lima periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad SAW (571-632 M), periode Khulafa ar Rasyidin (632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-sekarang).[2]
Pendidikan Islam di zaman Nabi Muhammad SAW merupakan periode pembinaan pendidikan Islam awal, dengan cara membudayakan pendidikan Islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Al-Qur’an.  Setelah itu dilanjutkan pada periode Khulafa al-Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuaan yang ditandai dengan berkembangnya ilmu-ilmu Naqliah dan’Aqliah.
       Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mendapatkan gambaran secara jelas tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia, terlebih dahulu harus melihatnya dari pendidikan Islam pada masa nabi dan sahabat, baru kemudian dilanjutkan dengan sejarah masuknya Islam di Negara ini. Maka dari itu, dalam makalah yang sederhana ini penulis akan membahas tentang sejarah pendidikan pada masa nabi Muhammad dan khulafaur Rasyidin, serta sejarah pendidikan Islam di Indonesia yang di dalamnya akan mengupas seputar teori-teori masuknya Islam di Indonesia, serta kondisi pendidikan Islam di Indonesia sejak zaman penjajahan hingga masa sekarang.



B.  Pendidikan Islam pada Masa Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin
1.        Pendidikan Islam pada Masa Nabi Muhammad saw.
Pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW merupakan prototipe yang terus menerus dikembangkan umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya. Nabi Muhammad melakukan pendidikan Islam setelah mendapat perintah dari Allah sebagaimana termaktub dalam surat Al-Mudasir ayat 1-7, menyeru yang berarti mengajak, dan mengajak yang berarti mendidik. Pada masa awal pendidikan Islam tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara dan pendidikan formal baru muncul pada masa belakangan yakni dengan kebangkitan madrasah. Permulaan pendidikan Islam bisa ditemukan di Mekah pada zaman Rasulullah. Nabi Muhammad menyiarkan konsep perubahan radikal, hubungan dan sikap masyarakat Arab yang menjadi mapan sampai saat ini. Perubahan itu sejalan dengan ajaran Islam yang memerlukan kreatifitas baru secara kelembagaan untuk meneruskan kelangsungan dan perkembangan agama Islam.
Nabi Muhammad membangkitkan kesadaran manusia terhadap pentingnya pengembangan bidang keilmuan atau pendidikan. Memang perintah Allah kepada Nabi Muhammad adalah untuk membuka pintu gerbang pengetahuan bagi manusia dengan mengajari atau mendidik. Nabi Muhammad  sebagai seorang yang diangkat sebagai pengajar atau pendidik (mu’allim). Disamping itu beliau diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan pesan-pesan Allah yang terkandung dalam al-Qur’an. Dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah pengajar atau pendidik muslim pertama.
Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung bisa dikatakan bersifat informal: dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyyah, penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah[3].
Pada masa ini pendidikan Islam diartikan pembudayaan ajaran Islam yaitu memasukkan ajaran-ajaran Islam dan menjadikannya sebagai unsur budaya bangsa Arab dan menyatu ke dalamnya. Dengan pembudayaan ajaran Islam ke dalam sistem dan lingkungan budaya bangsa arab tersebut, maka terbentuklah sistem budaya Islam dalam lingkungan budaya bangsa Arab. Dalam proses pembudayaan ajaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa Arab berlangsung dengan beberapa cara. Ada kalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran bersifat memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada dengan menambahkan yang baru. Ada kalanya Islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentang sama sekali dengan unsur budaya yang telah ada sebelumnya yang sudah menjadi adat istiadat. Ada kalanya Islam mendatangkan ajarannya bersifat meluruskan kembali nilai-nilai yang sudah ada yang praktiknya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.
Dengan usaha yang sangat keras dan melewati berbagai tantangan, nabi Muhammad berjuang dengan keras dalam rangka menyebarkan Islam kepada kaum Qurais. Penyebaran agama Islam tersebut semakin hari semakin meluas dan bertambah banyak kaum Qurais yang mengikuti ajaran-ajaran Muhammad. Ini merupakan suatu bukti bahwa Muhammad mengalami keberhasilan dalam mendidik, mengajarkan serta mengamalkan ajaran Islam kepada orang-orang Qurais.
Setelah wafatnya nabi Muhammad penyebaran Islam dilanjutkan oleh sahabat-sahabat beliau, diantaranya adalah Khulafaur Rasyidin, dan lain-lain.

2.        Pendidikan Islam pada Masa Khulafaur Rasyidin
Periode Khulafa’ur Rasyidin yang berlangsung kurang lebih 30 tahun (th. 11 H/632 M-41H/661 M) dibawah empat orang Khalifah, yaitu Abu Bakar As-Siddik, Umar Ibn Khattab, Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib.
Periode Khulafaur Rasyidin ini merupakan periode penyiaran Islam yang sangat berhasil, sehingga Islam mulai tersiar di luar jazirah Arabia. Pengaruh dan kekuasaan Islam telah meliputi Syiria (Syam), Irak, Persia dan Mesir. Hasil gemilang ini bersumber kepada beberapa faktor, diantaranya: hakikat ajaran Islam sendiri yang sederhana dan rasional, watak orang Islam sendiri yang penuh vitalitas-vitalitas yang berhasil digairahkan dengan ajaran Islam serta situasi sosial, budaya dan politik di timur pada saat lahirnya Islam terutama di dua Imperium Persia dan Bizantium.[4]
Keadaan ini mendorong khalifah-khalifah Ar-Rashidin untuk lebih mengkonsolidasikan kekuataan dan kemampuannya dalam rangka untuk mempersiapkan pegembangan pendidikan dan penyiaran Islam lebih lanjut. Hal-hal yang dapat di catat segai langkah tersebut guna kepentingan Islam selanjutnya adalah:
a.    Penyusunan Mushaf Al-Quran
Sewaktu Nabi masih hidup tulisan-tulisan wahyu Al-Quran tercatat dalam lembaran yang terpisah-pisah serta ada pada beberapa orang pencatat wahyu. Sewaktu Abu Bakar As-Sidik menjabat Kholifah beliau memerintahkan mengumpulkan tulisan-tulian Al-Quran yang terpisah-pisah pada Zaid Bin Tsabit. Setelah berkumpul menjadi tulisan maka tulisan-tulisan tersebut disimpan oleh Abu Bakar sendiri. Setelah Abu Bakar wafat , jabatan Kholifah di ganti oleh Umar bin Khotab, dan selanjutnya di simpan oleh Umar bin Khotob, kemudian oleh khalifah, anaknya dan janda mendiang Rasulallah. Setelah jabatan kholifah di pegang oleh Utsman bin Affan, beliau memerintahkan kepada Zaid Bin Tsabit.Abdullah Ibn Zubair dan Said Ibnu Ash untuk menyusunnya dalam satu mushaf yang di kenal dengan mushaf Usmani, sebagaimana dikenal sekarang.
b.    Penyusunan Ilmu Nahwu
Karena kesulitan yang banyak di hadapi bangsa dan orang ‘Ajam yang mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an setelah meluasnya Islam dikalangan orang yang berbahasa bukan arab seperti bahasa Khibthi (Mesir) dan bahasa Suryani (Syiria Dan Irak) maka atas saran dan petunjuk Ali Bin Abi Thalib, seorang ahli bahasa bernama Abul Aswad Al Dauly menyusun ilmu nahwu (gramatika arab) untuk membantu dan mempermudah orang asing mempelajari bahasa Al-Qur’an.



c.       Majlis Khalifah
Semenjak kekuasaan khalifah Abu Bakar sampai khalifah Ali Bin Abi Thalib, atas inisiatif mereka ditimbulkan suatu media untuk menyelesaikan urusan negara, agama dan urusan-urusan lain yang menyangkut tugas khalifah, apa yang dinamakan dengan majlis khalifah. Dimajlis khalifah inilah para khalifah duduk bersama sahabat dan pemuka-pemuka lainnya, juga dengan rakyat umum untuk membicarakan kepentingan umum dan memecahkan permasalahannya bersama dengan mereka. Pada mulanya majlis khalifah ini bertempat di masjid, tetapi pada perkembangan selanjutnya dipindah ke Istana khalifah dan berkembang sebagai salon adabiyah pada masa Umayyah dan mencapai ketenarannya pada masa Abbasiyah. Bahkan akhirnya berfungsi sebagai tempat pertemuan ilmiyah dan pengembann ilmu, sastra yang dihadiri khusus oleh para ulama’ dan sarjana terkemuka dalam banyak bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.[5]
Usaha-usaha tersebut merupakan langkah yang sangat bermanfaat bagi pengembangan Islam dan ilmu pengetahuan pada masa-masa selanjutnya. Ilmu pengetahuan Islam ternyata telah banyak mendapatkan dorongan maju, terutama dari ajaran Islam sendiri, terbukti dengan munculnya kegiatan pendidikan di beberapa tempat diwilayah kekhalifahaan Islam diantaranya:
1)      Makkah dan Madinah (Hijaz) dengan guru pertamanya Muadz Ibn Jabal di Makkah dan Zaid Ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar di Madinah. Muadz Ibn Jabal mengerjakan Al-Qur’an dan yang bersangkutan dengan yang halal dan yang haram dalam Islam. Zaid Ibn Tsabit di Madinah, sesuai dengan keahliannya mengajarkan qira’at Al-Qur’an dan Ilmu Faraid. Sedang Abdullah ibn Umar sebagai seorang ahli Hadits yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah, beliau mengajarkan dan berfatwa sesuai dengan hadits yang diriwayatkannya[6].
2)      Kufah (Irak), dengan guru pertamanya Abdullah Ibn Umar. Abdullah Ibn Umar adalah orang pertama yang dikirim oleh khalifah Umar ibn Khattab untuk mengajar di Kufah. Beliau mengajarkan Al-Qur’an, tafsir dan fiqh serta hadits.
3)      Damsyik (Syam), dengan guru-guru pertamanya Muadz Ibn Jabal, Ubadah dan Abu Darda’. Mereka inilah yang dikirimkan khalifah Umar Ibn Khattab untuk menjadi guru disana sesaat setelah Damsyik menganut Islam. Muadz ibn Jabal mengajar di Palestin, Ubadah di Hims sedang Abu Al-Darda’ mengajar di Damsyik. Mereka terutama mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lainnya.
4)      Fusthat (Mesir), dengan guru pertamanya Abdullah Ibn Amr Ibn Ash. Beliau seorang ahli hadits dan bukan saja menghafal diluar kepala hadits-hadits yang diterimanya dari Rasulullah melainkan juga dituliskannya dalam catatan yang rapi sehingga cukup menjamin keaslian lafal Rasulullah.
Kebanyakan kegiatan pendidikan ini dilaksanakan di masjid dan di Kutab atau Makkah. Kuttab sebagai tempat mengajar al-qur’an dan dasar-dasar agama Islam pada tingkat dasar, sedang tingkat menengah dilaksanakan di masjid. Dari sinilah Dr. Asma Hasan Fahmi menyatakan bahwa Al-Kuttab sebagai tempat mengajarkan al-qur’an dan dasar-dasar agama Islam baru muncul pada masa kekuasaan khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq dan Umar ibn Khattab[7].
Sebenarnya pendidikan dalam arti lembaga baru ada pada masa Khulafaur Rasyidin ini yaitu dengan munculnya Al-Kuttab yang terorganisir secara rapi dan terecana. Tetapi batas tahun 459 H segera memisahkan antara lembaga pendidikan lama dengan lembaga pendidikan modern dengan munculnya madrasah Nidzamiyah yang dirintis pendirinya oleh seorang perdana menteri Nizamul Mulk pada masa Sultan Malik Syah dari Bani Saljuk. Sebagai madrasah modern, Nidzamiyah dilengkapi dengan Yayasan pengelola yang mendukung stabilitas lembaga pendidikan ini. Madrasah ini tersebar dihampir seluruh kota dan pelosok kekuasaan Bani Saljuk diantanya di kota-kota: Bagdad, Naisabur, Isfahan, Basrah Dan Mausul.
Empat khalifah yang pertama pengganti Muhammad bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulut, namun sebagai pengganti Rasululah mereka harus berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh para sahabat-sahabat Rasul yang lain.

C.  Masuknya Islam di Indonesia
Lahirnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia. Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M[8]. Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh[9].
Dalam kesimpulan akhir seminar sejarah Islam di Nusantara yang dilaksanakan di Banda Aceh tahun 1978 yang disusun oleh A.Hasymi, menyebutkan bahwa:
1.      Menegaskan kembali hasil seminar sejarah Islam di Medan tahun 1963 yaitu bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 1 H. atau abad ke 7 M. langsung dari tanah Arab.
2.      Daerah yang pertama kali dimasuki dan menerima ajaran Islam adalah Aceh.
3.      Masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Nusantara merupakan proses yang memakan waktu panjang, sehingga antara masuknya Islam dan berdirinya kerajaan Islam merupakan dua hal yang perlu dibedakan. Berdasarkan dokumen “Izdharul Haq”  dan Tazdkirat Thabakat Jam`u Salatin  kerajaan Islam Perlak didirikan pada tahun 225 H. (abad ke 9 M.).[10]
Untuk menjembatani beberapa perbedaan pendapat tentang awal mula masuknya ajaran Islam ke Indonesia, Muhammad Samsu[11] membagi periodesasi masuknya pendakwah Islam ke Indonesia  dalam tiga gelombang, yaitu:
1.        Gelombang pertama, yaitu diperkirakan pada khir abad ke 1 H./ 7 M. dengan rombongan pendakwah yang berasal dari Bashrah, Irak, yaitu ketika kaum syi`ah dikejar-kejar oleh Bani Umayah yang berkuasa pada saat itu. Mereka adalah kelompok yang dipimpin oleh Makhada Khalifah.
2.        Gelombang kedua, diperkirakan pada ke 6 H./13 M., dibawah pimpinan Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini yang berlabuh di Gresik, Jawa Timur. Pendakwah lainnya seperti Maulana Malik Ibrahim, Maulana Malik Ishak dan Raden Rahmat atau lebih dikenal Sunan Ampel.
3.        Gelombang ketiga, diperkirakan abad ke 9 H. / 16 M., yang dipimpin ulama dari Tarim, Hadramaut. Mereka berjumlah lebih dari 45 orang dan datang berkelompok-kelompok berkisar 2, 3, atau 5 orang. Mereka berdakwah dan menetap di beberapa daerah Nusantara seperti Aceh, Riau, Sedang, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah dan Utara, Ternate, Bali, Sumba dan lain-lain.
Kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai melalui beberapa cara, seperti jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk dan berkembang di Indonesia.
Kegiatan pendidikan Islam di Nusantara, tumbuh dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di negeri ini. Konversi massal masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam, mengajarkan tulisan dan hafalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran tentang moral[12].



D.  Pendidikan Islam di Indonesia
1.        Pengertian Pendidikan Islam
Secara etimologis pendidikan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara[13]. Sedangkan Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Hasbullah[14] pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan[15]. Sedangkan Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah, juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia[16].
Adapun berkenaan dengan Pendidikan Islam, Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf mengartikannya sebagai suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam[17] atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah[18].
Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" atau pun "transfer of training", tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan[19]. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Lebih jelasnya Zakiyah Darajat menempatkan Pendidikan Islam sebagai pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis[20].  
Dari pengertian di atas, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
 Di samping itu, pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri.



2.        Pendidikan Islam pada Zaman Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan penjajah dari dari bangsa Eropa – termasuk Belanda- Pendidikan Islam sudah ada dan mulai berkembang ke seluruh Nusantara, kendatipun pelaksanaannya masih sangat tradisional jika dibandingkan dengan perkembangan setelah kedatangan bangsa Belanda. Pendidikan Islam berjalan dan berkembang seiring dengan dakwah dan penyebaran Islam itu sendiri. Pendidikan Islam pada saat itu mengambil bentuk halaqoh, dan tatap muka perorangan di mushalla, masjid, maupun pesantren.[21]
Ketika Belanda datang, pendidikan Islam mulai menemukan hambatan.  Rintangan dan tantangan itu kian menjadi ketika pendidikan Islam dihadapkan dengan proses kristenisasi yang justru dilakukan oleh para penjajah. Belanda mulai membuat peraturan dan kebijakan yang isinya menghambat secara perlahan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Kolonialis Belanda memperlakukan umat Islam sejajar dengan kaum pribumi. Sekolah untuk mereka terbatas hanya sekolah desa, sedangkan penduduk selain Islam, khususnya Kristen, diperlakukan sama dengan bangsa Eropa. Keadaan ini membekas dalam hati umat Islam. Di samping itu Belanda selalu memposisikan Islam sebagai musuh baik untuk kolonialis maupun untuk usaha penyebaran agama Nasrani.
Keadaan pendidikan umat Islam pada zaman Belanda dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan karena terus menerus mendapatkan tekanan dan perlakuan yang tidak menyenangkan. Namun demikian, umat Islam terus berupaya dan berjuang melakukan perlawanan hingga pada akhirnya pendidikan Islam mengalami kebangkitan.
Kebangkitan tersebut terinspirasi dengan gerakan yang lahir di Timur tengah[22]  yang dibawa oleh orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Gerakan ini di mulai dari pembahuran pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau yang kemudian disusul oleh pembaharuan pendidikan masyarakat Arab di Indonesia, Perserikatan Ulama Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912) Persatuan Islam di Bandung (1920), Nahdlatul Ulama di Surabaya (1927) dan lain sebagainya.
Dengan munculnya gerakan-gerakan itu keadaan pendidikan Islam mengalami perkembangan dan kemajuan kea rah yang lebih baik, meskipun Belanda tidak menghendakinya. Bahkan cendrung menghalangi dan menghambat perkembangannya. Salah satu indikator kemajuan dan perkembangan pendidikan Islam pada saat itu adalah dengan semakin banyaknya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bermunculan pada waktu itu.
                        Keasadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan “pemerintah kafir” yang menjajah bangsa dan agama mereka semakin dalam tertanam di benak umat Islam pada saat itu, khususnya para santri (pelajar pesantren) yang pada waktu itu pesantren merupakan pusat pendidika Islam yang mengambil sikap anti Belanda. Sikap itu tercermin dengan anggapan kalangan pesantren yang menganngap uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda dinilai sebagai uang haram. Bahkan celana dan dasi pun dianggap haram karena dianggap sebagai identitas Belanda.[23]

3.        Pendidikan Islam pada Masa Orde Lama
Pasca kemerdekaan Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945 kesadaran umat Islam akan masa depan bangsa mulai tumbuh dan perlu dirancang dengan matang demi keberlangsungan nikmat kemerdekaan tersebut. Di antara wujud persiapan itu adalah dengan didirikannya badan-badan negara yang menangani urusan kenegaraan. Salah satu dari badan-badan tersebut adalah Departemen Agama yang didirikan pada tanggal 3 Januari 1946. Departemen ini menangani semua urusan keagamaan yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.[24]  
                        Segera setelah departemen ini didirikan, ia juga mengembangkan kegiatan baru yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya, yaitu ikut serta mengembangkan pendidikan yang agamis atau turut mengemban tugas dalam memberikan pendidikan agama untuk seluruh rakyat Indonesia. Keikutsertaan pemerintah dalam masalah agama yang pada permulaannya hanya bersifat administratif dikembangkan kemudian dengan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mendorong terhadap penghayatan agama, terutama di bidang pendidikan.
                        Perubahan yang terjada pada masa ini dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka. Untuk hal itu, maka pendidikan mengalami perubahan dalam landasan idiilnya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia.
                        Selain itu, berkenaan dengan perubahan pendidikan Islam di Indonesia yang terjadi pada saat itu dapat dilihat dengan adanya beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti:
a.       Pelajaran agama di semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.
b.      Para guru dibayar oleh pemerintah.
c.         Pada sekolah dasar pendidikan agama diberikan mulai kelas VI.
d.      Pendidikan agama dilaksanakan selama seminggu sekali pada waktu tertentu.
e.       Para guru Agama diangkat oleh Departemen Agama.
f.       Para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum.
g.      Pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan agama.
h.      Diadakan latihan untuk para guru agama.
i.        Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki.
j.        Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.[25]

4.        Kondisi Obyektif Pendidikan Islam
Praktek pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Namun perkembangan terakhir menunjukkan kemajuan yang cukup menggembirakan. Kemajuan tersebut setidaknya dapat dilihat dari indikator kuantitatif. Pelaksanaan Pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum di Indonesia berlangsung 2 jam perminggu (90 menit). Bahkan banyak sekolah yang menambah pelajaran pendidikan agama Islam bagi peserta didiknya, baik penambahan yang dilaksanakan di kelas, maupun melalui kegiatan ekstra kurikuler. Pendidikan Islam di sekolah-sekolah saat ini juga disemarakkan dengan adanya paket-paket pengajaran khusus seperti pesantren kilat yang sering dilaksanakan pada waktu bulan Ramadhan.
Masalah klasik yang masih memerlukan perhatian mendalam dan masih menjadi bahan perdebatan dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum adalah persoalan jumlah jam pelajaran. Berbagai kalangan mempermasalahkan jumlah jam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, sementara kalangan yang lain melihat faktor langkanya mata pelajaran budi pekerti dalam kurikulum sekolah.
                        Memperhatikan tuntutan di atas maka pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum hendaknya harus dilakukan dengan berbagai strategi. Kurikulum pendidikan agama Islam harus disempurnakan terus menerus, sehingga mencapai komposisi materi pelajaran agama Islam yang proporsional dan fungsional. Strategi berikutnya adalah dengan memadukan pendidikan budi pekerti dengan pendidikan agama. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat dikotomi sumber nilai bagi perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari, dan pendidikan agama mendapat tambahan jam pelajaran khusus untuk memperkuat materi pendidikan ahlak.[26] Meskipun dengan tingkat kualitas yang berbeda-beda, pelaksanaan strategi-strategi di atas telah mewarnai kondisi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum dewasa ini.    
                        Di samping dua strategi di atas, yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan agama Islam adalah hendaknya pembelajaran agama Islam tidak hanya ditekankan pada aspek pemahaman siswa dalam ranah kognitif saja, akan tetapi lebih dari itu, pendidikan agama Islam ditekankan lagi dalam aspek pengamalan dan internalisasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan siswa sehari-hari, baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Dalam hal ini, maka guru pendidikan agama Islam tidak hanya bertugas untuk melakukan pengajaran (transfer of knowledge) di dalam kelas yang indicator keberhasilannya hanya ditentukan dengan angka-angka, namun lebih dari itu, ia juga bertanggung jawab secar moral terhadap sikap dan perilaku siswanya setelah menerima pengajaran tersebut. Sehingga keberhasilan pendidikan agama Islam tidak hanya terbatas pada angka-angka, melainkan lebih pada perubahan perilaku dan budi pekerti anak didik kearah yang lebih baik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya.

5.                Masa Depan Pendidikan Islam Indonesia
Masa depan pendidikan Islam di Indonesia dibentuk baik oleh faktor internal maupun faktor  eksternal. Secara internal, dunia pendidikan Islam pada dasarnya masih menghadapi problem pokok berupa masih rendahnya sumber daya manusia pengelola pendidikan.  Namun demikian, tren dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa penyelesaian sumber daya manusia menunjukkan penanganan yang semakin baik.
Adapun secara eksternal, masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar; globalisasi, demokratisasi dan liberalisasi  Islam[27].   Globalisasi tidak hanya mempengaruhi sistem pasar, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem pendidikan. Penetrasi budaya kehidupan global akan direspon secara berbeda oleh kalangan pendidikan. Respon tersebut kadang bersifat permisif  yaitu cendrung menerima begitu saja pola dan budaya global tanpa memahami nilai dan subtansinya. Kedua bersifat defensif yaitu apriori terhadap capaian budaya dan peradaban global, dan ketiga bersikap transformatif, yaitu berusaha mendialogkan antara budaya global dengan budaya lokal, sehingga terjadi sintesis budaya yang dinamis dan harmonis.
Demokratisasi merupakan isu lain yang mempengaruhi masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Tuntutan demokratisasi yang pada awalnya hanya terhadap sistem perpolitikan negara yang otoriter, namun dalam perkembangannya, tuntutan ini mengarah pada seluruh sistem kehidupan termasuk pendidikan. Jika sebelumnya sistem pendidikan bersifat sentralistik, seragam dan dependen, maka dewasa ini sudah berkembang tuntutan pengelolaan pendidikan yang lebih otonom dan beragam. Termasuk dalam tuntutan demokratisasi ini adalah penggeseran paradigm pendidikan, sehingga lebih menekankan pada peran siswa secara aktif.
Di samping kedua isu besar di atas, masalah yang tak kalah penting adalah isu liberalisasi Islam. Agama Islam yang telah dianut oleh berbagai komunitas yang sangat komplek dan beragam, meniscayakan adanya proses sialektika antara ajaran Islam dengan kondisi lokal, sehingga menghasilkan pemahaman agama yang fungsional. Dalam hal ini muncul tuntutan liberalisasi Islam, baik dalam perspektif ekstrim maupun moderat. Isu liberalisasi ini yang pada awalnya hanya berkutat dalam wacana keagamaan, lambat laun turut berimbas pada pendidikan Islam. Hal ini terutama sangat dirasakan dalam pengajaran Islam pada jenjang perguruan tinggi yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai tempat yang sangat cocok untuk pewarisan intelektual dan transformasi wacana-wacana keagamaan yang terbilang baru. 
     
E.       Penutup
Dari uraian di atas yang sangat sederhana ini, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kondisi pendidikan Islam sejak zaman sebelum kemerdekaan memang sudah ada tetatpi masih dimarginalkan. Karena pendidikan agama Islam pada saat itu hanya terdapt di madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren non-formal. Kemudian setelah Indonesia merdeka pendidikan Islam mulai masuk ke sekolah-sekolah formal, bahkan diatur oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
2.      Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang memang sudah ada sejak zaman colonial Belanda terus dikembangkan dan bahkan dimasukkan di bawah pengawasan Kementrian Agama. Sehingga sejak proklamasi kemerdekaan RI jumlah pesantren dan madrasah meningkat tajan di seluruh nusantara.
3.      Persoalan klasik pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum mengenai jumlah jam pelajaran yang oleh sebagian kalangan dianggap masih sangat minim dapat disiasati dengan strategi-stratgi pengajaran yang efektif serta pemanfaatan kegiatan di luar sekolah seperti kegiatan ekstra kurikuler dan pesantren kilat. Disamping itu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penciptaan kondisi sekolah yang agamis sehingga internalisasi nilai-nilai ajaran Islam oleh peserta didik dapat terwujud dan tuuan pendidikan agama Islam dapat tercapai.
4.      Terdapat dua faktor dalam perkembangan pendidikan agama Islam, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa masih rendahnya kualitas sumber daya manusia pengelola pendidikan Islam di negara ini, sedangkan faktor eksternalnya adalah tiga isu besar; globalisasi, demokratisasi, dan liberalisasi.    



[1]  Dosen Bahasa Arab STAI Mempawah   
[2] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992, h. 7
[3] Azzumardi Azra, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains, dalam Charles Michaell Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Logos, Jakarta, 1994, h. V.

[4] Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Terj. Tudjimah CS, Jakarta, 1966, h. 12.
[5] Busjairi Madjidi, Sejarah Pendidikan Islam Bagian Pertama, Penerbit Tiga A,Yogyakarta, 1969, h. 26
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Mutiara, Jakarta, 1966, h. 30.
[7] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Ibrahim Husain, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, h. 30.
[8] A. Mustofa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999, h. 23
[9] Taufik Abdullah, Ed., Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1983, h. 83
[10]  Dedi Supriyadi,  Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008, h. 191 - 192
[11]  Lihat Dedi Supriyadi, Ibid, h. 192
[12]  Musrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, h. 20
[13]  Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996, h. 25
[14] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, h. 4
[15]  Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis, Bandung: Remaja Rosdakarya,1992, h. 11
[16] HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, h. 22.
[17]  Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Education"., Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah, Bandung, 1986, h. 2
[18]   Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, h. 26
[19] Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija, Yogyakarta, 1991, h. 50
[20]  Zakiyah Darajat, op.cit., h. 25
[21] Rasi`in, Pendidikan Islam di Indonesia pada Zaman Belanda, Ed., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung, Angkasa, 2003, h. 14
[22]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke 12, 2001, h. 258
[23] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, 1985, h. 49-50
[24]  Mustofa & Abdullah Aly, Op.cit., h. 111
[25]  Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah,  Jakarta, LP3ES, 1994, h. 92
[26]  Wahyudin Aziz, Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Ed.,Bandung, Angkasa, 2003, h. 100
[27]  Wahyudin Aziz, ibid., h. 105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar